Ada berbagai macam teori yang menyatakan tentang masuknya Islam ke Nusantara. Beberapa teori tersebut ada yang menyatakan bahwa Islam masuk ke Nusantara sekitar abad ke-7, abad ke-11, dan sebagainya. Dari teori tersebut, proses sentuhan awal masyarakat Nusantara dengan Islam terjadi pada abad ke-7 melalui proses perdagangan , kemudian pada abad selanjutnya Islam mulai tumbuh dan berkembang. Selanjutnya melahirkan kerajaan-kerajaan yang bercorak Islam. Seperti kerajaan-kerajaan Islam di Sumatera, antara lain Samudera Pasai, Aceh, Minangkabau. Kerajaan-kerajaan Islam di Jawa, antara lain, Demak,Pajang,Mataram,Cirebon,Banten.
B. Kerajaan-Kerajaan Islam Di Jawa
1. Kerajaan Demak
Kerajaan Demak merupakan kerajaan Islam
pertama di Pulau Jawa. Demak sebelumnya merupakan daerah bawahan dari
Majapahit. Daerah ini diberikan kepada Raden Patah, keturunan Raja
Majapahit yang terakhir.
Ketika kekuasaan kerajaan Majapahit
melemah, Raden Patah memisahkan diri sebagai bawahan Majapahit pada tahun 1478
M. Dengan dukungan dari para adipati,
Raden Patah mendirikan kerajaan Islam
Demak dengan gelar Senopati Jimbung Ngabdurrahman Panembahan Palembang
Sayidin Panatagama. Sejak saat itu, kerajaan Demak berkembang menjadi
kerajaan maritim yang kuat. Wilayahnya cukup luas, hampir meliputi sepanjang
pantai utara Pulau Jawa. Sementara itu, daerah pengaruhnya sampai ke luar Jawa,
seperti ke Palembang, Jambi, Banjar, dan Maluku.[20]
Dalam masa
pemerintahan Raden Patah, Demak berhasil dalam berbagai bidang, di antaranya
adalah perluasan dan pertahanan kerajaan, pengembangan Islam dan pengamalannya,
serta penerapan musyawarah dan kerja sama antara ulama dan umara (penguasa).
Keberhasilan
Raden Patah dalam perluasan dan pertahanan kerajaan dapat dilihat ketika ia
melanklukkan Girindra Wardhana yang merebut tahkta Majapahit (1478), hingga
dapat menggambil alih kekuasaan Majapahit. Selain itu, Patah juga mengadakan
perlawanan terhada portugis, yang telah menduduki Malaka dan ingin mengganggu Demak.
Ia mengutus pasukan di bawah pimpinan putranya, Pati Unus atau Adipati Yunus
atau Pangeran Sabrang Lor (1511), meski akhirnya gagal. Perjuangan Raden Patah
kemudian dilanjutkan oleh Pati Unus yang menggantikan ayahnya pada tahun 1518.[21]
Dalam
bidang dakwah Islam dan pengembangannya, Raden Patah mencoba menerapkan hukum Islam
dalam berbagai aspek kehidupan. Selain itu, ia juga membangun istana dan
mendirikan masjid (1479) yang sampai sekarang terkenal dengan masjid Agung
Demak. Pendirian masjid itu dibantu sepenuhnya oleh walisongo.
Di antara
ketiga raja Demak, Sultan Trenggana lah yang berhasil menghantarkan Kusultanan
Demak ke masa jayanya. Pada masa Trenggana, daerah kekuasaan Demak meliputi
seluruh Jawa serta sebagian besar pulau-pulau lainnya.
Cepatnya
kota Demak berkembang menjadi pusat perniagaan dan lalu lintas serta pusat
kegiatan pengislaman tidak lepas dari andil masjid Agung Demak. Dari sinilah
para wali dan raja dari Kesultanan Demak mengadakan perluasan kekuasaan yang
dibarengi oleh kegiatan dakwah Islam ke seluruh Jawa.[22]
2. Kerajaan Pajang
Kesultanan
ini merupakan kerajaan Islam pertama yang terletak di daerah pedalaman.
Sebelumnya, kerajaan Islam selalu berada di daerah pesisir, karena Islam datang
melalui para pedagang dari Asia Barat yang berlabuh di pesisir.[23]
Sultan
pertama pajang adalah Mas Kerebet. Ia berasal dari Pangging, desa di lereng
Gunung Merapi sebelah tenggara. Mas Karebet memiliki nama lain, yakni Jaka
Tingkir. Tingkir adalah nama tempat Mas Karebet dibesarkan. Oleh Raja Demak
ketiga, Jaka Tingkir diangkat menjadi penguasa di Pajang, setelah sebelumnya
dinikahkan dengan anak perempuannya.[24]
Setelah Sultan
Trenggana meninggal pada tahun 1546, anaknya yang bernama Sunan Prawoto
diangkat sebagai penggantinya. Akan tetapi, ia kemudian meninggal terbunuh
dalam perebutan kekuasaan oleh keponakannya sendiri, yaitu Arya Panangsang.
Selanjutnya,
Arya Penangsang menjadi penguasa Demak. Namun karena Kadipaten Pajang juga
telah beranjak kuat dan memiliki wilayah yang luas terjadilah pertentangan
antara Jaka Tingkir dan Arya Penangsang. Dengan bantuan dari
kadipaten-kadipaten lainnya yang juga tidak menyukai Arya Penangsang, Jaka
Tingkir akhirnya berhasil membunuh Arya Penangsang.
Sebagai raja Pajang, Jaka Tingkir bergelar
Sultan Adiwijaya (1568 – 1582). Gelar itu disahkan oleh sunan Giri, dan segera
mendapat pengakuan dari para adipati di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Sebagai
langkah pertama peneguhan kekuasaan, Adiwijaya memerintahkan agar semua benda
pusaka Demak dipindahkan ke Pajang. Setelah itu, ia menjadi salah satu raja
yang paling berpengaruh di Jawa.
Sultan Adiwijaya memperluas kekuasaannya
di Jawa pedalaman ke arah timur sampai daerah Madiun, di aliran anak bengawan
Solo yang terbesar. Tahun 1554, Blora, dekat Jipang, diduduki pula. Kediri
ditundukannya pada tahun 1577. tahun 1581, sesudah usia sultan Adiwijaya
melampaui setengah baya, ia berhasil mendapatkan pengakuan sebagai sultan Islam
dari raja-raja terpenting di Jawa Timur.[25]
Kesultanan
Pajang adalah kesultanan Islam yang menggantungkan hidupnya pada budaya
agraris, karena secara geografis pajang jauh terletak di pedalaman Jawa. Pengaruh
agama Islam yang kuat di pesisir menjalar dan tersebar ke daerah pedalaman. Pada
masa pemerintahan Sultan Adiwijaya, Pajang berusaha mengembangkan kesusasteraan
dan kesenian Islam.[26]
3. Kerajaan Mataram
Pada waktu Sultan Adiwijaya berkuasa
di Pajang, Ki Ageng Pemanahan dilantik menjadi adipati di Mataram
sebagai imbalan atas keberhasilannya membantu menumpas Aria Penangsang.
Sutawijaya, putra Ki Ageng Pemanahan diambil anak angkat oleh Sultan Adiwijaya.
Setelah Ki Ageng Pemanahan wafat pada tahun 1575 M, Sutawijaya diangkat menjadi
Adipati di Mataram. Setelah menjadi Adipati, Sutawijaya ternyata tidak puas dan
ingin menjadi raja yang menguasai seluruh Jawa, sehingga terjadilah peperangan
sengit pada tahun 1528 M yang menyebabkan Sultan Adiwijaya mangkat. Setelah itu
terjadi perebutan kekuasaan di antara para Bangsawan Pajang dengan pasukan
Pangeran Pangiri yang membuat Pangeran Pangiri beserta pengikutnya diusir dari
Pajang, Mataram. Setelah suasana aman, Pangeran Benawa (putra Adiwijaya)
menyerahkan takhtanya kepada Sutawijaya yang kemudian memindahkan pusat
pemerintahannya ke Kota Gede pada tahun 1568 M. Sejak saat itu berdirilah
Kerajaan Mataram.[27]
Dalam menjalankan pemerintahannya,
Sutawijaya, Raja Mataram banyak menghadapi rintangan. Para adipati di pantai
utara Jawa seperti Demak, Jepara, dan Kudus yang dulunya tunduk pada Pajang
memberontak ingin lepas dan menjadi kerajaan merdeka. Akan tetapi, Sutawijaya
berusaha menundukkan adipati-adipati yang menentangnya dan Kerajaan Mataram
berhasil meletakkan landasan kekuasaannya mulai dari Galuh (Jabar) sampai
Pasuruan (Jatim).
Setelah Sutawijaya mangkat, tahta
kerajaan diserahkan oleh putranya, Mas Jolang, lalu cucunya Mas
Rangsang atau Sultan Agung. Pada masa pemerintahan Sultan Agung,
muncul kembali para adipati yang memberontak, seperti Adipati Pati, Lasem,
Tuban, Surabaya, Madura, Blora, Madiun, dan Bojonegoro.
Untuk menundukkan pemberontak itu,
Sultan Agung mempersiapkan sejumlah besar pasukan, persenjataan, dan armada
laut serta penggemblengan fisik dan mental. Usaha Sultan Agung akhirnya berhasil
pada tahun 1625 M. Kerajaan Mataram berhasil menguasai seluruh Jawa, kecuali
Banten, Batavia, Cirebon, dan Blambangan. Untuk menguasai seluruh Jawa, Sultan
Agung mencoba merebut Batavia dari tangan Belanda. Namun usaha Sultan mengalami
kegagalan.[28]
Kehidupan masyarakat di kerajaan
Mataram, tertata dengan baik berdasarkan hukum Islam tanpa meninggalkan
norma-norma lama begitu saja. Dalam pemerintahan Kerajaan Mataram Islam, Raja
merupakan pemegang kekuasaan tertinggi, kemudian diikuti oleh sejumlah pejabat
kerajaan. Di bidang pengadilan, dalam istana terdapat jabatan jaksa yang
bertugas menjalankan pengadilan istana.[29]
Kerajaan Mataram menggantungkan
kehidupan ekonominya dari sektor agraris. Hal ini karena letaknya yang berada
di pedalaman. Akan tetapi, Mataram juga memiliki daerah kekuasan di daerah
pesisir utara Jawa yang mayoritas sebagai pelaut. Daerah
pesisir inilah yang berperan penting bagi arus perdagangan Kerajaan Mataram.
Kebudayaan yang berkembang pesat pada masa Kerajaan Mataram berupa
seni tari, pahat, suara, dan sastra. Bentuk kebudayaan yang berkembang adalah
Upacara Kejawen yang merupakan akulturasi antara kebudayaan Hindu-Budha dengan
Islam.
Di samping itu, perkembangan di bidang kesusastraan memunculkan
karya sastra yang cukup terkenal, yaitu Kitab Sastra Gending yang merupakan
perpaduan dari hukum Islam dengan adat istiadat Jawa yang disebut Hukum Surya
AlamBy : http://arkisejarah.blogspot.co.id/2012/04/pertumbuhan-dan-perkembangan-kerajaan.html
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapustidak informatif tolong diperbaiki lagi di edit yang baik ya dek kamu itu perlu belajar lagi, mengerti?
BalasHapuslagu nya tidak sesuai dengan tema blog nya tolong di ganti dengan lagu nya opick ya dek
BalasHapusbilaaa waktu tlah berlaluuuuu teman sejati tinggalah sepiiii ... iiii...
BalasHapus